oleh: P. William P. Saunders *
Jenazah Beato Paus Yohanes XXIII
Herald
edisi 29 Maret 2001 melaporkan bahwa jenazah Paus Yohanes XXIII tidak
mengalami kerusakan, tetapi kemudian timbul perdebatan mengenai apakah
hal ini merupakan tanda kekudusannya atau hanya sekedar akibat metode
pengawetan biasa. Dapatkah dijelaskan lebih lanjut mengenai hal ini?
~ seorang pembaca di Alexandria
Pada
tanggal 16 Januari 2001, Kardinal Sodano, Sekretaris Negara Tahta Suci;
Kardinal Noe, Imam Agung Basilika St Petrus; dan Leonardo Sandri,
membuka makam Beato Paus Yohanes XXIII yang dibeatifikasi pada tanggal 3
September 2000. (Beliau wafat pada tanggal 3 Juni 1962.) Identifikasi
jenazah merupakan bagian dari prosedur normal kanonisasi. Jenazah B Paus
Yohanes XXIII hendak dipindahkan dari makam yang sekarang di ruang
bawah tanah St Petrus ke suatu makam baru di atas, dalam basilika itu
sendiri, di altar yang dipersembahkan demi menghormati St Hieronimus.
Paus Yohanes Paulus II menginstruksikan pemindahan tersebut guna
menegaskan kekudusan paus pendahulunya itu dan guna memungkinkan umat
beriman dapat lebih mudah menghormatinya.
Ketika
peti jenazah dibuka, Kardinal Noe mengatakan bahwa wajah B Paus Yohanes
XXIII tampak “utuh dan damai”. Laporan resmi menyatakan, “Begitu kain
selubung dibuka, wajah beato tampak utuh, dengan kedua mata tertutup dan
mulut sedikit terbuka, dengan roman muka yang segera mengingatkan orang
pada penampilan familiar paus yang dihormati itu.” Kedua tangan Bapa
Suci, yang masih menggenggam sebuah rosario, juga masih utuh.
Pemeriksaan
yang demikian merupakan langkah penting yang perlu dilakukan dalam
proses kanonisasi. Kardinal Prospero Lambertini (yang dikemudian hari
menjadi Paus Benediktus XIV, 1675-1758) menulis lima jilid buku berjudul
De Beatificatione Servorum Dei et de Beatorum Canonizatione di mana ia
menuliskan dua bab, De Cadaverum Incorruptione. Karya ini tetap
merupakan referensi klasik dalam perkara demikian. Jenazah yang tak
rusak merupakan sesuatu yang luar biasa dan karenanya jenazah yang tidak
mengalami proses pengawetan, namun tetap mempertahankan rona, kesegaran
dan kelenturan seolah hidup setelah bertahun-tahun kematian, merupakan
suatu mukjizat. Secara spiritualitas, tanda demikian merupakan indikasi
bahwa jenazah orang tersebut dipersiapkan untuk kebangkitan tubuh dengan
mulia.
Bersamaan
dengan incorruptibilitas (= keadaan jenazah yang tak rusak) adalah
tanda “harum surgawi”, suatu fenomena di mana jenazah atau makam seorang
kudus memancarkan bau harum semerbak. Dalam Perjanjian Lama, bau
wangi-wangian dipergunakan untuk menyatakan bahwa seseorang berkenan
kepada Allah dan kudus dalam pandangan-Nya. Biasanya, bau harum ini khas
dan tak dapat diperbandingkan dengan wangi-wangian apapun. Kardinal
Lambertini mengatakan bahwa dalam kasus tubuh yang mati, nyaris tak
mungkin ia tidak memancarkan bau busuk, lebih tak masuk akal lagi jika
jenazah memancarkan bau harum. Sebab itu, bau harum yang terpancar
tersebut pastilah berasal dari suatu kuasa adikodrati dan karenanya
dianggap sebagai mukjizat. Walau demikian, perlu dicatat, bahwa iblis
pun dapat membuat “bau harum mewangi”; jadi tanda ini harus dipertalikan
dan didukung dengan kekudusan hidup orang yang meninggal tersebut
secara keseluruhan.
Dalam
mempertimbangkan fenomena ini, faktor-faktor lain harus diperhitungkan
juga. Sebagai contoh, jenazah Beato Paus Yohanes XXIII ditempatkan dalam
suatu peti pualam yang terdiri dari tiga peti - satu dari kayu oak,
satu dari timah dan satu dari cypress (semacam kayu cemara). Walau
jenazahnya tidak diawetkan, namun jenazah telah disemprot dengan
bahan-bahan kimia agar dapat dipertontonkan sebelum dimakamkan. Nazareno
Gabrielli, seorang tenaga ahli dari Vatican Museums, mengatakan,
“Ketika beliau wafat, diambil langkah-langkah agar jenazah dapat
dipertontonkan untuk dihormati oleh umat beriman. Jangan dilupakan juga
bahwa jenazah dimasukkan dalam tiga peti, di mana salah satunya disegel
dengan timah.” Sebab itu, kemungkinan sedikit oksigen menembus ke dalam
peti mati dan mempengaruhi jenazah. (Setelah jenazah diperiksa secara
resmi, jenazah disemprot dengan bahan anti-bakteri, dan peti disegel
kedap udara).
Pada pokoknya, jenazah yang tak rusak merupakan tanda kekudusan hidup seseorang. Jenazah St Bernadette Soubirous (1844-1879) dan St Katarina Laboure
(1806-1876) juga tetap tak rusak hingga kini, walau jenazah mereka
tidak diawetkan dan tidak terlindung dari berbagai macam unsur selama
bertahun-tahun sebelum makam mereka digali kembali. Karenanya, orang
dapat melihat dengan pasti bagaimana tangan Tuhan bekerja dalam
memelihara jenazah Beato Paus Yohanes XXIII; juga yang mengagumkan
adalah bagaimana beliau melewatkan masa hidupnya dengan hidup kudus.
* Fr. Saunders is dean
of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria
and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Debate Over Incorruptibility” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
0 komentar:
Posting Komentar