Relikwi St Yanuarius
(San Gennaro); Uskup dan Martir; wafat 305
Darahnya
yang tersimpan di Katedral Napoli, Italia ini mencair kembali setiap
tahun pada tanggal pestanya, yaitu 19 September. Diyakini, apabila
darahnya tidak mencair, maka akan terjadi bencana pada tahun itu,
seperti yang telah terbukti pada setidaknya lima kesempatan. Misalnya:
wabah ganas pada tahun 1527 dan gempa bumi dahsyat di Italia selatan
yang menewaskan hingga 3.000 orang pada tahun 1980.
|
Relikwi
meliputi jasad fisik seorang kudus (atau seorang yang dianggap kudus,
namun belum secara resmi dikanonisasi) juga benda-benda lain yang
“dikuduskan” dengan disentuhkan ke tubuhnya. Relikwi dibagi dalam dua
kelas: kelas pertama dan kelas kedua.
Relikwi
Kelas Pertama atau Relikwi Sesungguhnya meliputi bagian-bagian tubuh,
pakaian, dan untuk seorang martir: alat-alat penghukuman, penyiksaan dan
eksekusi. Relikwi Kelas Kedua atau Relikwi yang Mewakili adalah
benda-benda yang disentuhkan umat beriman pada bagian-bagian tubuh atau
makam seorang kudus.
Penggunaan
relikwi dapat ditemukan dasarnya, walau terbatas, dalam Kitab Suci.
Dalam Kitab II Raja-Raja 2:9-14, Nabi Elisa memungut jubah Nabi Elia
setelah Elia diangkat ke surga dalam angin badai; dengan jubah itu Elisa
memukul air sungai Yordan, yang lalu terbelah menjadi dua sehingga ia
dapat menyeberang. Dalam ayat yang lain, Kitab II Raja-Raja 13:20-21,
dikisahkan suatu kali orang dengan tergesa-gesa menguburkan mayat ke
dalam kubur Elisa, “Dan demi mayat itu kena kepada tulang-tulang Elisa, maka hiduplah ia kembali dan bangun berdiri.” Dalam Kisah Para Rasul kita baca, “Oleh
Paulus Allah mengadakan mujizat-mujizat yang luar biasa, bahkan orang
membawa saputangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan
meletakkannya atas orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan
keluarlah roh-roh jahat” (Kis 19:11-12). Dalam ketiga ayat
di atas, penghormatan diberikan pada tubuh fisik atau pakaian dari
orang-orang kudus yang sungguh adalah alat-alat pilihan Allah - Elia,
Elisa dan St Paulus. Sungguh, mukjizat-mukjizat terjadi sehubungan
dengan “relikwi-relikwi” ini - bukan karena ada suatu kuasa gaib dalam
benda-benda itu, melainkan: sama seperti karya Allah diselenggarakan
melalui hidup orang-orang kudus ini, demikian pula karya-Nya terus
diselenggarakan bahkan setelah kematian mereka. Begitu pula, sama
seperti orang banyak dihantar datang kepada Tuhan melalui hidup
orang-orang kudus ini, demikian pula orang-orang kudus ini (melalui
peninggalan-peninggalan mereka) menginspirasikan pada orang banyak untuk
datang kepada Tuhan. Gagasan inilah yang merupakan pemahaman Gereja
mengenai relikwi.
Penghormatan
terhadap relikwi telah didapati sejak sejarah awal Gereja. Suatu surat
yang ditulis oleh umat beriman dari Gereja di Smyrna pada tahun 156M
menceritakan kisah wafat St Polikarpus, uskup
mereka, yang dibakar di tiang pancang. Surat itu berbunyi, “Kami
mengambil tulang-belulangnya, yang jauh lebih berharga daripada
batu-batu permata dan lebih murni daripada emas murni, lalu meletakannya
di suatu tempat yang pantas, di mana Tuhan akan mengijinkan kami untuk
berkumpul bersama, sesering yang kami dapat, dalam bahagia dan sukacita,
serta merayakan hari kemartirannya.” Sesungguhnya, relikwi -
tulang-belulang dan peninggalan St Polikarpus yang lainnya - dimakamkan,
dan makam itu sendiri merupakan “wadah relikwi”. Catatan-catatan lain
menegaskan bahwa umat beriman berziarah ke tempat-tempat pemakaman para
kudus dan mukjizat-mukjizat terjadi di sana. Di samping itu, pada masa
sekarang, kita melihat perkembangan “hari-hari pesta” mengenangkan
wafatnya seorang kudus, perayaan Misa di tempat pemakaman dan
penghormatan terhadap peninggalan para kudus.
Sesudah
disahkannya Gereja pada tahun 313M, makam-makam para kudus dibuka dan
relikwi-relikwi sesungguhnya dihormati oleh umat beriman.
Tulang-belulang atau bagian tubuh lainnya ditempatkan dalam suatu wadah
relikwi - kotak, medali, dan di kemudian hari kotak kaca - untuk
dihormati. Praktek semacam ini teristimewa berkembang di Gereja Timur,
sementara praktek menyentuhkan kain pada peninggalan seorang kudus lebih
umum dilakukan di Barat. Pada masa periode Merovingian dan Carolingian
dalam Abad Pertengahan, wadah relikwi telah umum digunakan di segenap
penjuru Gereja.
Gereja berusaha mempertahankan penggunaan relikwi dalam pemahaman yang benar. Dalam Surat kepada Riparius, St Hieronimus (wafat 420)
menulis demi mempertahankan penghormatan terhadap relikwi, “Kita tidak
menyembah, kita tidak memuja, oleh sebab kita takut bersembah sujud
kepada makhluk ciptaan dan bukan kepada Sang Pencipta, tetapi kita
menghormati relikwi para martir guna terlebih lagi memuja Dia yang
empunya para martir itu.”
Di
sini kita perlu berhenti sejenak. Mungkin, di abad teknologi kita ini,
segala gagasan mengenai relikwi tampak “aneh”. Baiklah kita
mengingat-ingat bahwa kita semua menyimpan barang-barang milik seorang
yang kita kasihi - mungkin pakaian, atau suatu barang pribadi lainnya.
“Relikwi-relikwi” itu mengingatkan kita akan kasih sayang yang ada
antara kita dengan si pemilik barang, sementara ia masih hidup dan
bahkan sesudah ia meninggal. Hati kita terasa sakit apabila kita harus
membuang suatu barang yang sifatnya sangat pribadi milik seseorang yang
kita kasihi, yang sudah meninggal dunia. Bahkan dari segi sejarah, di
Ford's Theater Museum misalnya, kita dapat melihat barang-barang
peninggalan Presiden Lincoln, termasuk bantal bernoda darah di mana ia
menghembuskan napas terakhirnya. Jika demikian, terlebih lagi, kita
menyimpan relikwi para kudus, yang adalah alat-alat kudus pilihan Tuhan.
Pada
Abad Pertengahan, “pemindahan relikwi,” yaitu pemindahan relikwi dari
makam, dari wadah relikwi, dan penyebaran relikwi, semakin berkembang.
Sayangnya, penyalahgunaan relikwi juga ikut berkembang. Dengan berbagai
invasi barbar, kemenangan Perang Salib, kurangnya sarana untuk menguji
keaslian relikwi, pula orang-orang yang dalam ketamakan mereka menipu
mereka yang tidak mengerti dan yang percaya takhyayul, sehingga
penyelewengan sungguh banyak terjadi. Bahkan St Agustinus (wafat
430) mengutuk penipu-penipu licik yang berdandan bagaikan biarawan
memperdagangkan relikwi-relikwi palsu para kudus. Paus St Gregorius
(wafat 604) melarang penjualan relikwi dan pembongkaran makam di
katakomba-katakomba. Sayangnya, para paus maupun otoritas religius
lainnya tak berdaya dalam usaha mereka mengendalikan pemindahan relikwi
maupun dalam mencegah pemalsuan relikwi. Pada akhirnya,
penyimpangan-penyimpangan ini menggerakkan para pemimpin Protestan untuk
sama sekali menyerang gagasan mengenai relikwi. (Sayangnya,
penyalahgunaan dan penyelewengan yang terjadi seputar relikwi telah
menghantar banyak orang hingga sekarang ini untuk tidak percaya sama
sekali perihal relikwi).
Sebagai
tanggapan, Konsili Trente (1563) mempertahankan baik gagasan mengenai
mohon bantuan doa kepada para kudus, maupun penghormatan terhadap
relikwi dan makam para kudus, “Tubuh sakral para martir yang kudus
maupun para kudus lainnya yang hidup dalam Kristus, yang adalah
anggota-anggota tubuh Kristus yang hidup dan bait Roh Kudus, dan yang
dimaksudkan untuk dibangkitkan serta dimuliakan oleh-Nya dalam kehidupan
kekal, hendaknya juga dihormati oleh umat beriman. Daripadanya, banyak
manfaat dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia.”
Sejak
saat itu, Gereja mengambil tindakan-tindakan ketat dan seksama guna
memastikan penyimpanan dan penghormatan yang layak bagi relikwi. Kitab
Hukum Kanonik no 1190 melarang dengan keras penjualan relikwi-relikwi
suci, dan relikwi-relikwi “tidak bisa dengan sah dialih-milikkan dengan
cara apapun atau dipindahkan untuk selamanya tanpa izin Takhta
Apostolik.” Di samping itu, sekarang ini relikwi diperlengkapi dengan
dokumen yang menjamin keotentikannya. Kitab Hukum Kanonik juga mendukung
penempatan relikwi yang pantas dalam praktek kehidupan Katolik kita.
KHK No. 1237 menyatakan, “Hendaknya tradisi kuno untuk memendam
relikwi-relikwi para martir atau orang-orang kudus lainnya di bawah
altar yang tetap, dipertahankan, menurut norma-norma yang diberikan
dalam buku-buku liturgi,” (suatu praktek yang telah tersebar luas sejak
abad keempat). Banyak gereja juga memiliki relikwi dari santa / santo
pelindung mereka, yang dihormati umat beriman pada kesempatan-kesempatan
khusus. Dan ya, terus saja berlanjut laporan-laporan mengenai
mukjizat-mukjizat dan melimpahnya kasih karunia Tuhan kita melalui
perantaraan para santa / santo dan penghormatan terhadap relikwinya.
Pada intinya, relikwi mengingatkan kita akan kekudusan seorang santa /
santo dan kesediaannya untuk bekerjasama dalam karya Allah; sekaligus
relikwi mengilhami kita untuk mohon bantuan doa santa / santo tersebut,
serta mohon rahmat Tuhan agar kita hidup dengan penuh iman seturut teladannya.
Dikutip dari : yesaya.indocell.net
0 komentar:
Posting Komentar