Saya
mengunjungi sanak-saudara sesudah Paskah; menyedihkan sekali mereka
tidak ikut merayakan Misa. Saya pergi ke Misa dan mencoba mengingatkan
mereka bahwa mengabaikan Misa merupakan dosa berat. Kata mereka, “Oh,
itu kan dulu. Sekarang tidak ikut Misa bukan lagi dosa berat.” Bagaimana
pendapat anda? Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca dari Manassas
Daripada
menjawab pertanyaan di atas hanya dari sudut pandang “mengabaikan Misa
adalah dosa,” pertama-tama kita patut mengingat kembali akan pentingnya
Perayaan Misa. Setiap hari Minggu, kita berkumpul bersama sebagai suatu
Gereja dengan hati penuh sukacita untuk beribadat kepada Allah yang
Mahakuasa. Kita mengenangkan dan menyatakan iman kita sekali lagi akan
misteri keselamatan kita, yaitu bahwa Yesus Kristus, Putra Allah,
sengsara, wafat dan bangkit pada hari ketiga demi keselamatan kita.
Peristiwa-peristiwa Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah dirangkum
sepenuhnya dan seluruhnya dalam Kurban Kudus Misa. Konstitusi tentang
Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium) Konsili Vatikan II menegaskan,
“Sebab melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, `terlaksanalah
karya penebusan kita'. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum
beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta
hakekat asli Gereja yang sejati.” (SC #2).
Di
samping itu, dalam Perayaan Misa, setiap umat beriman Katolik diperkaya
dengan rahmat yang berlimpah: Pertama, kita diberi santapan Sabda Tuhan
- kebenaran Allah yang kekal, yang telah dinyatakan kepada kita dan
ditulis di bawah ilham Roh Kudus. Kita kemudian menanggapi Sabda Tuhan
dengan menyatakan Iman Katolik yang Kudus seperti yang diungkapkan dalam
Syahadat Para Rasul, dengan mengatakan tidak saja AKU percaya “sebagai
satu pribadi, melainkan aku percaya” sebagai bagian dari Gereja.
Kedua,
jika kita berada dalam keadaan rahmat, maka kita beroleh kesempatan
untuk menerima Kristus dalam Ekatisti Kudus. Dengan yakin kita percaya
bahwa Kristus sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus, dan kita sungguh
menerima Tubuh-Nya, Darah-Nya, Jiwa-Nya dan Keallahan-Nya dalam Komuni
Kudus. Tidak saja Ekaristi Kudus mempersatukan kita secara intim mesra
dengan Kristus, tetapi juga mempersatukan kita dengan saudara-saudara
kita di seluruh Gereja universal dalam satu persekutuan. Ekaristi Kudus
sungguh suatu karunia yang luar biasa agung!
Dengan
pemahaman ini, jangan seorang pun berpikir bahwa menghadiri Misa
hanyalah untuk memenuhi kewajiban. Ikut ambil bagian dalam Perayaan Misa
merupakan suatu hak istimewa, dan karenanya semua umat beriman Katolik
sepatutnya rindu untuk ambil bagian di dalamnya. Yang ada di benak kita
janganlah “Aku wajib melakukannya”; melainkan, selayaknya kita berpikir
“Aku rindu melakukannya.”
Namun
demikian, karena Perayaan Misa menawarkan karunia yang begitu berharga,
menyediakan kelimpahan rahmat yang luar biasa, dan mempersatukan kita
semua sebagai satu Gereja, kita sungguh mempunyai kewajiban kudus untuk
ikut ambil bagian di dalamnya. Ingat bahwa perintah ketiga dalam Sepuluh
Perintah Allah adalah, “Kuduskanlah hari Tuhan.” Bagi bangsa Yahudi,
hari Sabat dalam Perjanjian Lama adalah hari Sabtu, sebagai tanda akan
“hari istirahat” setelah penciptaan. Bagi umat Kristiani, kita selalu
menguduskan hari Minggu, hari kebangkitan Tuhan. Sama seperti penciptaan
dimulai pada hari pertama dalam minggu dengan perintah Tuhan, “Jadilah
terang,” demikian juga Kristus, sang Terang yang datang untuk menghalau
kegelapan dosa dan maut, bangkit dari antara orang mati pada hari
pertama dalam minggu, sebagai tanda akan ciptaan yang baru.
Mengingat
betapa agungnya Misa dan juga seturut teladan Perjanjian Lama yang
dengan tepat diteruskan oleh Gereja, Kitab Hukum Kanonik (CIC # 1246)
menetapkan, “Pada hari Minggu menurut tradisi apostolik dirayakan
misteri paskah, maka harus dipertahankan sebagai hari raya wajib yang
primordial di seluruh Gereja.” Lagipula, “Pada hari Minggu dan pada
hari-hari raya wajib lainnya orang-orang beriman berkewajiban untuk
ambil bagian dalam Misa.” (# 1247). Oleh sebab itu, Katekismus Gereja
Katolik mengajarkan, “Barangsiapa melalaikan kewajiban ini dengan
sengaja, melakukan dosa berat.” (# 2181). Baru-baru ini, Bapa Suci kita,
Paus Yohanes Paulus II, mengulang kembali perintah gereja ini dalam
surat apostoliknya Dies Domini (Menghormati dan Merayakan Hari Tuhan, #
47, 1998).
Tentu
saja, ada situasi-situasi khusus di mana orang dibebaskan dari
kewajiban merayakan Misa, misalnya, jika seseorang sakit, dalam keadaan
gawat darurat, atau tidak dapat ikut serta dalam Misa tanpa menanggung
suatu beban yang berat. Seorang imam dapat juga memberikan dispensasi
kepada seseorang dari kewajiban merayakan Misa oleh karena suatu alasan
yang serius. Misalnya, tak seorang pun, termasuk Tuhan sendiri,
mewajibkan seseorang merayakan Misa padahal orang tersebut sakit parah
hingga tak mungkin pergi menghadiri Misa; tak ada keutamaan yang dapat
diperoleh dengan memperburuk kondisi kesehatannya sendiri, sekaligus
menulari orang-orang lain dalam Gereja. Atau, dalam hal terjadi serangan
badai, seseorang haruslah menimbang dengan bijaksana apakah ia dapat
melakukan perjalanan dengan aman untuk merayakan Misa tanpa membahayakan
dirinya sendiri sekaligus membahayakan nyawa orang lain. Ketika
situasi-situasi sulit seperti itu terjadi, yang menghalangi seseorang
merayakan Misa, maka orang tersebut wajib meluangkan waktu untuk berdoa,
mendaraskan doa-doa dan membaca bacaan-bacaan Kitab Suci yang dibacakan
pada hari itu, atau menyaksikan perayaan Misa di televisi dan
setidak-tidaknya ikut ambil bagian dalam roh / semangat. Ingatlah bahwa
ketika situasi-situasi sulit seperti di atas terjadi, orang tidaklah
berdosa berat jika ia melewatkan Misa.
Dalam
menimbang pertanyaan tersebut, orang haruslah merenungkan dengan
sungguh akan betapa berharganya Misa dan Ekaristi Kudus. Setiap hari,
umat beriman Katolik di Republik Rakyat Cina mengambil resiko kehilangan
kesempatan dalam bidang pendidikan dan ekonomi, dan bahkan resiko
kehilangan nyawa mereka sendiri agar dapat ikut ambil bagian dalam Misa.
Di daerah-daerah misi, orang harus melakukan perjalanan bermil-mil
jauhnya untuk merayakan Misa. Mereka rela mengambil resiko dan rela
menanggung pengorbanan itu sebab mereka sungguh percaya akan Misa dan
akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Ketika
seseorang dengan sengaja mengabaikan Misa untuk pergi shopping,
menyelesaikan pekerjaan, tidur beberapa jam lebih lama, menghadiri pesta
atau acara ramah-tamah, atau berekreasi, orang tersebut mengijinkan
sesuatu mengambil alih tempat Tuhan. Sesuatu itu menjadi lebih berharga
daripada Ekaristi Kudus. Sayangnya, saya mengenal keluarga-keluarga yang
dapat berjalan kaki saja ke Gereja, tetapi memilih untuk tidak ikut
merayakan Misa; ironisnya, mereka menyekolahkan anak-anak mereka di
sekolah Katolik. Ya, perilaku demikian sungguh mencerminkan sikap acuh
tak acuh terhadap Tuhan dan dengan demikian orang melakukan dosa berat.
Tuhan
haruslah mendapat tempat utama dalam hidup kita. Pada hari Minggu,
kewajiban utama kita adalah beribadat kepada Tuhan dalam Misa Kudus
sebagai suatu gereja dan kita akan diperkaya dengan rahmat-Nya. The
Didascalia, sebuah tulisan dari abad ketiga mendesak kita, “Tinggalkan
segala sesuatu pada Hari Tuhan dan dengan saleh bergegaslah menuju
pertemuan jemaatmu, sebab itulah ibadatmu kepada Tuhan. Jika tidak,
alasan apakah yang dapat mereka sampaikan kepada Tuhan, mereka yang
tidak berkumpul bersama pada Hari Tuhan untuk mendengarkan Sabda
Kehidupan dan menerima Santapan Ilahi yang tak akan berakhir selamanya?”
Ya, sungguh, alasan apakah yang dapat mereka sampaikan?
* Fr. Saunders is pastor of Queen of Apostles Church in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Is Missing Mass a Mortal Sin?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
0 komentar:
Posting Komentar