Senin, 31 Desember 2012

Filled Under: ,

Martirium

Share
oleh: P. William P. Saunders *

St. Polikarpus
St Polikarpus
St Ignatius dari Antiokhia


Katekismus menyatakan, “Martirium adalah kesaksian teragung yang dapat diberikan orang untuk kebenaran iman; itulah kesaksian sampai mati” (No. 2473). Daripada mengingkari imannya, seorang martir lebih suka memberikan kesaksian dengan kebesaran hati yang luar biasa akan keyakinan bahwa Kristus menderita sengsara, wafat dan bangkit dari antara orang mati demi keselamatan kita, dan akan kebenaran iman Katolik kita. Kata martir sendiri berarti “saksi”.

Kitab Suci mencatat kisah-kisah kepahlawanan baik dari laki-laki maupun perempuan yang lebih suka mati sebagai martir daripada mengingkari iman mereka atau tidak setia pada hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama, Susana lebih suka mati daripada menyerahkan diri pada hasrat dosa kedua hakim yang fasik (Daniel 13). Yohanes Pembaptis menolak untuk berkompromi dengan kejahatan dan tak hentinya memaklumkan hukum Allah; hingga pada akhirnya ia “memberikan nyawanya sebagai saksi kebenaran dan keadilan” (Doa Pembuka pada Peringatan Wafatnya St Yohanes Pembaptis). St Stefanus, salah seorang dari para diakon pertama Gereja, adalah juga martir yang pertama (Kis 6:8dst), diikuti kemudian oleh Rasul St Yakobus Tua (Kis 12:2).

Kesaksian para martir ini menjadi satu dalam penglihatan apokaliptik Kitab Wahyu. St Yohanes melihat suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba. Dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” Ketika ditanya, siapakah orang-orang itu, terdengar jawaban, “Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (bdk Why 7:9-17).

Pemahaman spiritual yang mendasari tindakan martirium adalah pemahaman yang wajib diterima setiap umat Kristiani. Dalam mengajarkan syarat-syarat untuk menjadi seorang murid sejati, Tuhan kita menegaskan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:24-26). Ya, setiap umat Kristiani harus siap memikul salib, bahkan jika itu berarti kehilangan nyawa di dunia ini.  

Dengan berbesar hati memikul salib, seorang Kristiani akan beroleh berkat dalam pandangan Tuhan. Dalam Sabda Bahagia, sikap hidup yang benar, yang mendatangkan rahmat persatuan dengan Tuhan, dinyatakan dalam Sabda Bahagia kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Lebih lanjut, Yesus mempertegasnya, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Walau demikian, tujuan utamanya bukanlah sekedar menderita di sini dan sekarang ini demi iman, melainkan kebesaran hati dan ketekunan yang menghantar orang pada hidup yang kekal, “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (bdk Mat 5:10-12).

Pemahaman spiritual ini dengan sangat indah diwujud-nyatakan dalam kesaksian iman para martir Gereja perdana pada masa penganiayaan oleh bangsa Romawi. Sebagai contoh, St Ignatius dari Antiokhia (wafat 110), yang adalah Uskup Antiokhia yang ketiga, penerus St Evodius (yang adalah penerus St Petrus Rasul), dan yang adalah murid St Yohanes Rasul, dijatuhi hukuman mati oleh Kaisar Trajan dengan dilemparkan ke arena sebagai mangsa binatang-binatang buas. Dalam perjalanan ke Roma di mana ia akan dieksekusi, ia menulis tujuh pucuk surat, termasuk satu surat kepada orang-orang Romawi, di mana ia merefleksikan mengenai hukuman mati yang menantinya, “Biarlah aku menjadi mangsa binatang-binatang buas, karena dengan demikian mungkinlah bagiku untuk sampai kepada Allah. Aku adalah gandum Tuhan, dan aku akan digiling dalam gigi bintang-binatang buas agar aku dapat menjadi roti Kristus yang murni.” Dan lagi “Segala ujung bumi dan segala kerajaan dunia ini tidak berguna sedikitpun bagiku. Lebih baiklah bagiku, mati untuk Kristus daripada hidup sebagai raja sampai ke ujung bumi. Aku mencari Dia yang sudah mati untuk kita; aku menghendaki Dia yang telah bangkit demi kepentingan kita. Saat kelahiranku sudah di ambang pintu” (epistula ad Romanos).

Suatu kesaksian iman luar biasa lainnya pada masa itu adalah kesaksian St Polikarpus, Uskup Smyrna, yang adalah sahabat St Ignatius dan yang adalah juga murid St Yohanes Rasul dan ditahbiskan sebagai uskup oleh St Yohanes. Karena menolak mempersembahkan kurban bagi dewa-dewa berhala Romawi dan menolak keallahan kaisar, St Polikarpus dijatuhi hukuman mati dengan dibakar di atas tiang pancang dalam usia delapanpuluh enam tahun, pada masa pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius. Sementara tumpukan kayu hendak dinyalakan, St Polikarpus berdoa, “Aku bersyukur kepada-Mu karena telah menganggapku layak, dan memasukkanku ke dalam kelompok para saksi berdarah pada hari ini dan pada saat ini… Engkau memegang janji-Mu, Allah kesetiaan dan kebenaran. Untuk rahmat ini dan untuk segala sesuatu, aku memuji Engkau, aku memuliakan Engkau dan meluhurkan Engkau dengan pengantaraan Yesus Kristus, Imam Agung surgawi yang kekal, PutraMu yang kekasih. Dengan pengantaraan Dia, yang hidup bersama Engkau dan Roh Kudus, terpujilah Engkau sekarang dan selama-lamanya. Amin” (Martyrium Polycarpi).

Dalam membela martirium, Tertulianus (wafat 250) menulis dalam `Apologeticus', “Salibkan kami, aniaya kami, bunuh kami, binasakan kami. Kejahatanmu adalah bukti ketidakbersalahan kami, sebab itulah Tuhan membiarkan kami mengalami sengsara ini. Ketika baru-baru ini engkau menjatuhkan hukuman kepada seorang gadis Kristiani dengan menyerahkannya kepada seorang mucikari dan bukannya kepada seekor harimau, sesungguhnya engkau menyadari dan mengakui secara terbuka bahwa bagi kami, suatu noda dalam kemurnian kami jauh lebih menakutkan daripada hukuman apapun dan lebih mengerikan daripada maut. Walau demikian, kekejianmu yang dahysat itu tak menghasilkan apa-apa; malahan merupakan suatu umpan bagi agama kami. Semakin kami ditebas olehmu, semakin menjadi banyaklah jumlah kami. Darah para martir adalah benih Kristiani.”

Tak diragukan lagi, walau dianiaya dengan hebat, Gereja terus bertahan dan berkembang, teristimewa dengan ditopang oleh kesaksian para saksi iman yang gagah berani dan doa-doa para martir yang kudus. Dalam Anjuran Apostolik “Gereja di Asia”, Paus Yohanes Paulus II memberikan perhatian pada penganiayaan Gereja, dan dengan menggemakan kembali seruan Tertulianus, beliau memaklumkan, “Semoga mereka berdiri tegak sebagai saksi-saksi kebenaran yang tak terkalahkan akan kebenaran, bahwa umat Kristiani selalu dan di mana-mana dipanggil untuk mewartakan tidak lain kecuali kuasa Salib Tuhan! Dan semoga darah para martir Asia sekarang seperti senantiasa merupakan benih hidup baru bagi Gereja di setiap penjuru benua!” (No. 49).

Bapa Suci Yohanes Paulus II senantiasa memberikan perhatian besar pada kesaksian para martir Gereja kita, teristimewa mereka yang wafat pada abad ini, khususnya selama masa penganiayaan yang dilancarkan oleh Nazi dan Komunis. Setiap benua telah dibasahi oleh darah para martir. Bapa Suci menerangkan martirium sebagai “bukti yang paling cemerlang bagi kebenaran iman; sebab iman dapat memberi wajah manusiawi bahkan kepada peristiwa-peristiwa maut yang penuh kekerasan, dan menunjukkan keindahannya bahkan di tengah pelbagai penganiayaan yang paling mengerikan” (Incarnationis Mysterium, No. 13).

Menurut Sri Paus, “bukti iman” ini membuktikan tiga hal. Pertama, martirium merupakan penegasan bahwa tatanan moral tidak boleh dilanggar - baik kebenaran dan kekudusan hukum Allah, maupun martabat pribadi manusia. Kedua, martirium merupakan suatu pujian dari suatu “kemanusiaan” yang sempurna dari seseorang serta pujian terhadap “hidup” sejati. Di sini, Bapa Suci mengutip pernyataan St Ignatius dari Antiokhia, “Saudara-saudara, berbelaskasihanlah padaku: jangan menghalangiku dari kehidupan; jangan menginginkan kematianku…. Biarkanlah aku sampai kepada cahaya yang murni; sekali sudah di sana aku akan sungguh-sungguh menjadi seorang manusia. Biarkan aku meneladani sengsara Tuhanku” (Ad Romanos). Ketiga, martirium merupakan suatu tanda yang menonjol dari kekudusan Gereja, dengan memberikan kesaksian sepenuhnya mengenai kebenaran. Singkat kata, “lewat contoh hidup mereka yang jelas dan menarik, yang sepenuhnya sudah diubah oleh cahaya kebenaran moral, para martir dan, pada umumnya, semua santo Gereja, menerangi tiap periode dalam sejarah dengan membangkitkan kembali kepekaan moralnya” (Cahaya Kebenaran, No. 93).

Sebab itu, sementara kita mendekati akhir tahun liturgi dan bersiap diri merayakan Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, baiklah kita memberikan perhatian pada para martir Gereja kita, oleh sebab kesaksian iman mereka menyemangati kita dan memberi kita pengharapan besar. Dengan rahmat Tuhan, kiranya kita boleh mempersembahkan diri pada Tuhan dan GerejaNya, dengan iman seperti yang mereka teladankan. Marilah mencamkan dalam hati kata-kata St Paulus ini, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:1-2).


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Understanding Martyrs” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

0 komentar:

Posting Komentar