oleh: P. William P. Saunders *
Apa sesungguhnya makna Tanda Salib dan mengapa kita melakukannya?
Bilamana dan bagaimana praktek ini berasal?
~ seorang pembaca di Falls Church
Tanda
Salib merupakan suatu gerakan yang indah, yang mengingatkan umat
beriman pada salib keselamatan sembari menyerukan Tritunggal Mahakudus.
Secara teknis, Tanda Salib merupakan sakramentali,
suatu lambang sakral yang ditetapkan Gereja guna mempersiapkan orang
untuk menerima rahmat, dan yang menguduskan suatu saat atau peristiwa.
Seiring pemikiran tersebut, gerakan ini telah dilakukan sejak masa
Gereja Perdana untuk memulai dan mengakhiri doa serta Misa.
Para
Bapa Gereja awali menegaskan penggunaan Tanda Salib. Tertulianus (wafat
250) menggambarkan kebiasaan membuat Tanda salib: “Dalam segala
kegiatan dan gerakan, setiap kali kami datang maupun pergi, saat
mengenakan sepatu, saat mandi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat
berbaring, saat duduk, dalam segala apapun yang kami lakukan, kami
menandai dahi kami dengan Tanda Salib” (De corona, 30).
St. Sirilus dari Yerusalem
(wafat tahun 386) dalam Pengajaran Katekesenya menyatakan, “Jadi,
marilah kita tanpa malu-malu mengakui Yang Tersalib. Jadikan Salib
sebagai meterai kita, yang dibuat dengan mantap menggunakan jari-jari di
dahi kita dan dalam segala kesempatan; atas roti yang kita makan dan
cawan yang kita minum, saat kita datang dan saat kita pergi; sebelum
kita tidur, saat kita berbaring dan saat kita terjaga; saat kita
bepergian, dan saat kita beristirahat” (Katekese, 13). Lama-kelamaan,
Tanda Salib dimasukkan dalam berbagai tindakan dalam Misa, misalnya
menandai diri tiga kali di dahi, bibir dan hati saat Injil hendak
dibacakan atau saat menyampaikan berkat dan saat menandai roti dan
anggur persembahan yang dimulai sekitar abad kesembilan.
Cara
resmi paling awal dalam membuat Tanda Salib muncul sekitar tahun
400-an, yaitu saat munculnya bidaah Monophysite yang menyangkal adanya
dua kodrat dalam pribadi ilahi Kristus, dan dengan demikian menyangkal
persekutuan Tritunggal Mahakudus. Tanda Salib dibuat dari dahi ke dada,
dan kemudian dari bahu kanan ke bahu kiri. Ibu jari, jari telunjuk dan
jari tengah ditangkupkan sebagai lambang Tritunggal Mahakudus - Bapa,
Putra dan Roh Kudus. Di samping itu, ketiga jari ditangkupkan sedemikian
rupa hingga melambangkan singkatan Yunani I X C (Iesus Christus Soter,
Yesus Kristus Juruselamat): jari telunjuk yang lurus melambangkan I;
jari tengah saling bersilangan dengan ibu jari melambangkan X; dan jari
tengah yang bengkok melambangkan C. Jari manis dan jari kelingking
dilipat ke arah telapak tangan, melambangkan kesatuan kodrat manusia dan
kodrat ilahi, kehendak manusia dan kehendak ilahi dalam pribadi
Kristus. Cara membuat Tanda Salib seperti ini umum dilakukan di kalangan
seluruh Gereja hingga sekitar abad keduabelas, tetapi hingga sekarang
masih tetap dipraktekkan dalam Gereja-gereja Katolik Ritus Timur dan
Gereja-gereja Orthodox.
Suatu
instruksi dari Paus Inosensius III (1198 - 1216) membuktikan adanya
tradisi praktek tersebut, sekaligus menunjukkan adanya perubahan dalam
praktek Gereja Katolik Ritus Latin, “Tanda Salib dibuat dengan tiga
jari, sebab penandaan diri tersebut dilakukan sembari menyerukan
Tritunggal Mahakudus…. Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah,
dan dari kanan ke kiri, sebab Kristus turun dari surga ke bumi, dan dari
Yahudi (kanan) Ia menyampaikannya kepada kaum kafir (kiri).” Sembari
memperhatikan kebiasaan membuat Tanda Salib dari bahu kanan ke bahu
kiri, yang dilakukan baik oleh gereja-gereja barat maupun timur, Paus
Inosensius melanjutkan, “Namun demikian, yang lain, membuat Tanda Salib
dari kiri ke kanan, sebab dari sengsara (kiri) kita harus beralih menuju
kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus beralih dari mati menuju hidup,
dan dari Tempat Penantian menuju Firdaus. [Sebagian imam] melakukannya
dengan cara ini, sehingga mereka dan umat menandai diri mereka dengan
cara yang sama. Kalian dapat dengan mudah membuktikannya - bayangkan
imam menghadap umat untuk menyampaikan berkat - ketika kami membuat
Tanda Salib atas umat, kami melakukannya dari kiri ke kanan…” Karenanya,
sejak saat itu umat beriman mulai meniru imam dalam menyampaikan
berkat, dari bahu kiri ke bahu kanan dengan tangan terbuka.
Lama-kelamaan, praktek ini menjadi cara yang biasa digunakan dalam
Gereja Barat.
Dalam
karya klasik, “Upacara-upacara Ritus Romawi” tulisan Adrian Fortescue
dan J. B. O'Connell, Tanda Salib dibuat dengan cara berikut:
“Letakkanlah tangan kiri dengan telapak terbuka di bawah dada. Tangan
kanan terbuka juga. Pada saat menyerukan Patris [Bapa] angkatlah tangan
kanan dan sentuhkan kening; saat menyerukan Filii [Putra], sentuhlah
dada agak ke bawah, tetapi di atas tangan kiri; saat menyerukan Spiritus
Sancti [Roh Kudus], sentuhlah bahu kiri dan kanan; saat menyerukan
Amin, tangkupkan kedua tangan jika perlu.” Meskipun praktek ini telah
berkembang dari bentuk asalnya dan kini masih dipraktekkan dalam Ritus
Timur, tetapi telah menjadi praktek yang biasa dilakukan pula dalam
Gereja Ritus Latin selama beberapa abad.
Tak
peduli bagaimana orang secara teknis membuat Tanda Salib, gerakan
haruslah dilakukan dengan khidmat dan saleh. Umat beriman haruslah
menyadari kehadiran Tritunggal Mahakudus, dogma inti yang menjadikan
orang-orang Kristen sebagai “Kristen”. Juga, umat beriman haruslah ingat
bahwa Salib adalah tanda keselamatan kita: Yesus Kristus, sungguh Allah
yang menjadi sungguh manusia, yang mempersembahkan kurban sempurna bagi
penebusan dosa-dosa kita di atas altar salib. Tindakan sederhana namun
mendalam ini membuat setiap orang beriman sadar akan betapa besar kasih
Allah bagi kita, kasih yang lebih kuat daripada maut dan akan
janji-janji kehidupan abadi. Demi alasan-alasan yang tepat, indulgensi sebagian
diberikan kepada mereka yang menandari dirinya dengan Tanda Salib
dengan khidmat, sambil menyerukan, “Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh
Kudus” (Enchirdion of Indulgences, No. 55). Oleh sebab itu, marilah
setiap kita membuat Tanda Salib dengan benar dan khidmad serta tidak
dengan sembarangan ataupun ceroboh.
* Fr. Saunders is
pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of
catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Sign of the Cross” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
0 komentar:
Posting Komentar